Kamis, 13 Mei 2010

Harta dan Perdagangan dalam Al-Qur'an

Dalam ajaran Islam, harta dan perdagangan memiliki kaitan yang sangat erat sekali. Umat Islam meyakini bahwa sebagian besar rizki yang diturunkan oleh Allah kepada manusia adalah melalui sektor perdagangan. Nabi Muhammad SAW yang merupakan Nabi dan Rasul terakhir yang diturunkan oleh Allah, dalam keyakinan umat Islam, adalah seorang pedagang pada masa mudanya, dan menjadi kepercayaan mitra bisnis Khadijah, perempuan yang memiliki begitu banyak kekayaan pada masa itu. Sehingga tidaklah mengherankan jika pada usia mudanya, Rasulullah telah mengumpulkan harta kekayaan yang cukup banyak dari hasil usaha perdagangannya. Di samping itu, sejarah juga membuktikan akan kemapanan Rasulullah pada masa mudanya, terlihat jelas ketika beliau memberikan dua puluh ekor unta sebagai maskawin pernikahannya dengan Khadijah.
Sekilas uraian sejarah kehidupan Rasulullah di atas sebenarnya bisa dijadikan sebuah gambaran awal bahwa perdangangan merupakan salah satu kunci sukses untuk mengumpulkan harta kekayaan. Sejarah kehidupan manusia modern juga membuktikan hal yang sama bahwa mayoritas orang-orang terkaya di dunia memiliki profesi sebagai pedagang, atau dalam bahasa masa kini familiar dengan istilah pengusaha.
Dalam ajaran Islam, baik itu mengenai harta kekayaan ataupun perdagangan telah memiliki aturan-aturan sendiri yang harus dipatuhi oleh umat Islam. Aturan-aturan yang ada tersebut bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis. Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menggambarkan konsep harta dan perdagangan dalam Al-Qur'an.
Di dalam Al-Qur’an, kata mal terulang sebanyak 25 kali dalam bentuk tunggalnya. Sedangkan dalam bentuk jamaknya yakni amwal terulang sebanyak 61 kali. ( Quraish Shihab, 1996 : 405). Dari sekian banyak penggunaan kata harta (mal) baik dalam bentuk tunggal ataupun jamaknya dalam al-Qur'an, mengisaratkan bahwa Allah menaruh perhatian yang cukup besar terhadap sarana pemenuhan kebutuhan manusia yang berupa harta. Dalam ajaran Islam, manusia adalah khalifah di bumi ini yang diberi wewenang dan kekuasaan oleh Allah untuk mengolah dan mempergunakan harta kekayaan tersebut sebagai sarana penopang kehidupannya. ( Q.S. Al-Baqarah : 29 ). Akan tetapi, kepemilikan yang dimiliki manusia hanyalah bersifat sementara, karma harta kekayaan tersebut suatu saat akan kembali lagi ke pemilik hakikinya (Allah), ( Q.S. An-Nur : 33 ). Salah satu alasan pelimpahan harta kekayaan kepada manusia adalah sebagai bahan ujian (Al-Anfaal : 28), (al-Baqarah : 155). Allah ingin menguji manusia dengan kepemilikan terhadap harta, apakah kemudian ia menjadi orang bersyukur atau malah menjadi orang yang kufur.
Dalam ajaran Islam, kepemilikan manusia terhadap harta kekayaan dibedakan menjadi tiga macam, yakni pertama, harta milik Negara (state property), yakni harta kekayaan (seluruh warga negara) yang hak pengelolaannya menjadi wewenang kepala negara, di mana dia bisa memberikan sesuatu kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Kedua, harta milik umum (public property) yakni harta yang telah ditetapkan hak miliknya oleh As-Syari’ (Allah), dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama. Harta milik umum bisa saja didayagunakan oleh seseorang atau sekelompok kecil orang, akan tetapi mereka dilarang untuk menguasainya secara pribadi. Ketiga, harta milik individu (private property), yakni hak atas suatu kekayaan terhadap suatu benda yang dimiliki oleh seseorang, baik itu didapatkannya melalui usahanya sendiri (bekerja), warisan, pemberian negara kepada rakyat (transimigrasi), hibah dan lain-lain (Sholahuddin, 2007 : 40-124).
Dalam ajaran Islam, harta memiliki berbagai macam fungsi, diantaranya ialah fungsi ibadah dan fungsi sosial. Fungsi ibadah dari harta bisa dilihat dari kegunaannya dalam menyempurnakan rukun Islam. Sholat, Zakat, Puasa, dan naik haji hanya bisa dilakukan jika seseorang itu memiliki harta. Tanpa adanya kepemilikan terhadap harta tersebut, maka pelaksanaan ibadah dalam rukun Islam tidaklah bisa sempurna. Sedangkan fungsi sosial dari harta bisa dilihat dari kegunaannya sebagai penunjang dalam menuntut ilmu, berbagi antar sesama, baik itu berupa zakat, infaq maupun sadaqah. ( Q.S. Al-Hadiid :7 ).
Disamping itu, dalam ajaran Islam (al-Qur'an) telah tercantum dengan jelas tata cara dalam memperoleh harta tersebut. Kepemilikan terhadap harta haruslah didapatkan sesuai dengan syariat Islam, baik itu melalui usahanya sendiri (Al-Qashas : 77), warisan, hibah ataupun lainnya. Akan tetapi, harta tersebut tidak boleh didapatkan dari suatu usaha yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti haram zatnya dan haram selain zatnya. Haram zatnya di sini bisa berupa usaha menjual-belikan minuman keras, babi dan lain-lain. Sedangkan haram selain zatnya yang dimaksudkan di sini ialah barang yang diperjual-belikan itu diperbolehkan oleh sayriat, akan tetapi caranya bertentangan dengan ajaran syariat, seperti riba, gharar, tadlis, maisir, dan lain-lain.
Selain adanya aturan tata cara memperoleh harta, dalam ajaran Islam juga ada aturan yang berkaitan dengan tata cara penggunaan harta tersebut. Orang yang memiliki harta kekayaan tidak boleh berprilaku boros ( Q.S. Al-Nisa : 5 ) dan tidak boleh juga berprilaku kikir. Islam menganjurkan agar setiap umat muslim mempergunakan harta kekayaannya sesuai dengan kebutuhannya, dan menganjurkan pula untuk senantiasa membiasakan diri untuk berbagi antar sesama.
Sedangkan perdagangan di dalam ajaran Islam, memiliki porsi yang cukup besar dalam pengkajiannya. Di dalam al-Qur'an sendiri bisa ditemukan kurang lebih 20 terminologi tentang perdagangan. Ungkapan tersebut malah diulang sebanyak 720 kali seperti dayn, amwal, rizq, syirkah, dharb, Isytara, Rizki, dinar, dirham, mudharabah, dan lain-lain.
Dalam ajaran Islam, yang termuat di dalam ayat-ayat al-Qur'an, banyak sekali terdapat aturan dan anjuran dalam perdagangan. Misalnya larangan memakan harta sesama dengan jalan yang batil (Q.S. An-Nisa : 29). Islam memberikan alternatif dan anjuran, yakni melalui perdagangan yang dilandasi atas prinsip suka-sama suka, tanpa adanya paksaan dari rekan bisnisnya. Selain itu juga, jalan yang batil dalam perdagangan juga mencakup larangan jual beli minuman keras, daging babi, pengambilan riba dalam jual beli, transaksi gharar, tadlis, maisir ataupun lainnya. Hal ini ditujukan agar transaksi perdagangan tersebut tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Di samping itu, dalam ayat al-Qur'an juga terdapat anjuran bagi mereka yang melakukan kegiatan perdagangan tidak secara tunai untuk membuat catatannya ( Q.S. Al-Baqarah : 282 ). Langkah ini bertujuan agar dikemudian hari tidak terjadi perselisihan di antara mereka. Proses pencatatan transaksi jual-beli yang dianjurkan Islam merupakan salah satu pedoman sehingga terciptalah ilmu akuntansi yang mulai dikenal secara luas pada abad pertengahan, dan telah menjadi proses yang sangat penting sekali dalam dunia perdagangan masa kini.
Dalam al-Qur'an juga terdapat peringatan bagi orang-orang yang sedang melakukan transaksi jual-beli agar tidak melalaikan menjalankan ibadah (Q.S. An-Nur : 37), (Q.S. Al-Jumu'ah : 9-11). Islam menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk senantiasa selalu bekerja keras, baik dalam sektor perdagangan ataupun lainnya. Akan tetapi, Islam juga memerintahkan agar semua yang sedang dikerjakan itu untuk ditinggalkan sementara waktu ketika waktu shalat tiba. Jadi, dari sini terlihat jelas bahwa Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat.
Islam menganjurkan kepada setiap umatnya yang melakukan usaha perdagangan agar senantiasa menafkahkan sebagian dari rizki yang diperolehnya kepada sesama ( Q.S. Fatir : 29 ). Kepedulian ajaran Islam untuk berbagi antar sesama sangatlah tinggi sekali, ini terlihat dari kewajiban untuk mengeluarkan zakat, anjuran untuk berinfaq dan sadaqah.
Dari gambaran di atas, maka kiranya bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa antara harta dan perdagangan dalam ajaran Islam memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali. Pengumpulan harta kekayaan akan lebih mudah dilakukan jika melalui kegiatan dalam sektor perdagangan. Wallahu a'lam.




DAFTAR BACAAN :
Al-Jumanatul Ali. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahannya . Yogyakarta : Jumanatul Press.

Sholahuddin. 2007. Asas-asas Ekonomi Islam . Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Shihab, M.Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat . Bandung : Mizan, 1996.

Lalu Suprawan. 2008. Ayat-ayat Perdagangan. Makalah, tidak diterbitkan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda