LARANGAN MENJUAL OBJEK YANG BELUM ADA DALAM TRANSAKSI
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa dipisahkan dari transaksi jual-beli, baik itu berupa barang ataupun jasa. Dengan adanya transaksi jual-beli inilah, maka manusia bisa memenuhi segala kebutuhan mereka. Transaksi jual-beli yang ada dalam suatu masyarakat bisa dijadikan sebuah pertanda bahwa roda perekonomiannya masih berjalan dengan baik. Akan tetapi, jika transaksi jual-beli mengalami kelesuan, bisa jadi itu juga tanda bahwa dalam suatu masyarakat tersebut sedang terjadi ketidak setabilan ekonomi, baik itu karena inflasi, deflasi ataupun disebabkan faktor lainnya.
Dalam ajaran Islam, sahnya suatu transaksi jual-beli harus memenuhi rukun dan syarat jual beli. Baik itu dari segi akad, kerelaan penjual-pembeli, kejelasan barang yang diperjual-belikan (kuantitas, kualitas, waktu penyerahan). Sedangkan transaksi jual-beli yang dilarang dalam ajaran Islam ialah transaksi jual-beli yang haram zatnya (sesuai dengan ketetapan al-Qur'an dan hadis), haram selain zatnya (Tadlis, Ikhtikar, Bai’ Najasy, Taghrir (Gharar), Riba, Risywah), dan tidak sah akadnya (rukun dan syarat tidak terpenuhi).
Melihat begitu pentingnya transaksi jual-beli dalam kehidupan masyarakat muslim, maka permasalahan yang coba diangkat dalam makalah ini adalah transaksi jual-beli apa saja yang dilarang dalam ajaran Islam, dan bagaimana hukum transaksi jual-beli tersebut. Hal ini penting dilakukan, karena banyak sekali pada zaman sekarang ini bermunculan berbagai macam bentuk transaksi jual-beli yang mana perlu dikaji keabsahan landasan hukumnya.
B. Objek Akad dalam Transaksi
Dalam kegiatan transaksi, objek akad dalam transaksi bisa dibedakan menjadi tiga macam :
1. Akad Perbuatan
Akad perbuatan merupakan bentuk akad untuk melakukan suatu pekerjaan yang didasarkan kesepakatan kedua belah pihak terlebih dahulu. Akad perbuatan kerap kali ditemukan dalam bidang jasa, yakni perbaikan terhadap milik orang lain. Ketika kedua belah pihak telah sepakat dalam akad perbuatan, maka si pekerja mimiliki kewajiban untuk memperbaiki barang yang menjadi objek akad sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Begitu juga dengan si pemilik objek akad tersebut, dia memiliki kewajiban untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan si pekerja beserta upah yang telah disepakati, setelah objek akad tersebut telah selesai di perbaiki oleh si pekerja tersebut.
2. Akad Benda
Dalam akad benda, objek transaksinya bisa berupa benda kongkrit, benda yang tidak kongkrit ataupun hak-hak kebendaan. Transaksi jual-beli yang berupa benda kongkrit bisa berupa jual-beli rumah, mobil, tanah, dan lain-lain. Sedangkan transaksi terhadap akad benda yang tidak kongkrit bisa berupa transaksi terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). HAKI bisa berupa :
A. Hak Cipta (copyright)
B. Hak Kekayaan Industri (industrial property rights), yang mencakup :
1. Paten (Patent). 2. Desain Industri (Industrial Design). 3. Merek (Trademark). 4. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Integrated Circuit). 5. Rahasia Dagang (Trade Secret). 6. Penanggulangan Praktik Persaingan curang (Represion of unfair Competition Practices) .
3. Akad Tidak Berbuat
Akad tidak berbuat merupakan akad yang dilakukan baik oleh dua belah pihak atau lebih untuk tidak melakukan suatu perbuatan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Akad tidak berbuat bisa kita temukan dalam suatu kegiatan bisnis. Misalnya : ada seseorang yang membuka toko bahan sembako di daerah papringan. Akan tetapi, di daerah tersebut sudah banyak berdiri toko-toko yang lain. Lantas si pemilik toko yang baru berjanji untuk tidak menjual jenis barang yang sama dengan barang yang sudah ada di toko-toko daerah itu. Ataupun si pemilik toko yang baru berjanji untuk menyamakan harga barang yang sama dengan toko-toko yang lain. Inilah kemudian yang dinamakan akad tidak berbuat.
C. Ketentuan dalam Bertransaksi
Dalam ajaran Islam transaksi jual-beli suatu barang haruslah memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Barang tersebut dapat di transaksikan
Barang yang dapat ditransaksikan yang dimaksudkan disini adalah barang yang tidak dilarang oleh syari'ah. Dalam ajaran Islam, khususnya yang termuat dalam al-Qur'an, barang-barang yang haram untuk diperjualbelikan adalah : segala bentuk minuman yang mengandung alkohol, darah, bangkai dan daging babi.
Dalam kegiatan ekonomi modern, barang-barang yang diharamkan oleh syariah untuk diperjual-belikan malah laku keras dipasaran. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa banyak sekali orang yang belum tahu kemudaratan atau efek negative dari barang-barang yang diharamkan Allah tersebut.
Kalau ditinjau dari perspektif dunia medis, pengharaman minuman keras disebabkan karena efek dari minuman keras merusak jaringan otak, merusak organ dalam tubuh, dan menimbulkan dampak adeftip (kecanduan) bagi pemakainya. Sedangkan pengharaman darah disebabkan karena dalam cairan darah tersebut terdapat kuman dan virus yang membahayakan bagi tubuh manusia. Begitu juga dengan bangkai. Daging babi haram dikonsumsi karena didalamnya terkandung berbagai macam bibit penyakit, salah satunya adalah cacing pita.
Dalam ajaran Islam, sesuatu yang haram bisa menjadi halal untuk dikonsumsi ketika dalam keadaan darurat, itupun sebatas hanya untuk mempertahankan hidup. Oleh karana itu, maka transaksi jual-beli berupa hewan babi tidaklah bisa dibenarkan, walaupun dengan maksud atau niat yang baik. Karna pada dasarnya niat yang baik tidak bisa menghalalkan sesuatu yang haram menjadi halal. Contoh : Membuat usaha ternak babi, dengan tujuan membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar yang menganggur, di mana pangsa pasar penjualan ternak itu ditujukan ke negara-negara yang warga negaranya banyak mengkonsumsi daging babi.
2. Barang tersebut dapat diserah terimakan.
Barang yang menjadi obyek transaksi seyogyanya bisa diserah-terimakan pada saat melakukan akad transaksi. Menurut jumhur ulama, transaksi-jual beli terhadap barang yang belum ada tidak diperbolehkan. Barang yang belum ada yang dimaksudkan di sini adalah ketika barang yang akan diperjual-belikan tersebut tidak bisa diketahui spesifikasi bentuk dan waktu penyerahannya. Jual-beli barang yang belum ada bisa seperti jual beli habal al habalah (janin dari hewan ternak). Transaksi jual beli seperti ini, seringkali terjadi pada masa dahulu, akan tetapi bukan berarti bahwa pada masa sekarang ini sudah ditinggalkan. Sejauh pengamatan penulis, transaksi seperti ini masih dilakukan di daerah-daerah terpencil ataupun di pedesaan.
Landasan hukum dari pelarangan transaksi jual-beli yang objek transaksinya tidak dapat diserah terimakan (gharar) adalah berdasarkan sabda Rasulullah SAW dalam hadits Abu Hurairah yang artinya : "Rasulullah melarang jual beli gharar", dan hadis "Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana termuat dalam firmanNya :
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui"(Al-Baqarah : 188)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu" (An-Nisaa : 29).
Dalam pandangan Al-Kasani (w.587/1190), seorang ulama Hanafi terkenal, mengatakan, "Adapun syarat yang berkaitan dengan objek akad ada beberapa macam, di antaranya adalah hendaknya objek itu ada (pada waktu akad) ; tidak terjadi jual beli atas barang yang tidak ada atau kemungkinan tidak ada.
Sedangkan dalam pandangan Ibn al-Qayyim (w.751/1350) dari mazhab Hambali, berpendapat bahwa tidak ada larangan dalam al-Qur'an, sunnah maupun fatwa para sahabat yang melarang jual-beli barang yang tidak ada. Menurutnya, dalam sunnah Nabi hanya terdapat larangan menjual beberapa barang yang belum ada sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. Causa legis ('illat) larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan gharar, yaitu ketidak pastian tentang apakah barang itu dapat diserahkan atau tidak. Jadi, meskipun barang tidak ada pada waktu akad, namun dapat diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual-beli tersebut sah.
Dalam dunia perekonomian modern, khususnya transaksi yang sering dilakukan di Bursa, praktik gharar yang berupa ketidak jelasan harga seringkali dilakukan. Misalnya transaksi kontrak berjangka. Kontrak berjangka memiliki pengertian mirip dengan kontrak forward, yaitu sebuah kontrak untuk membeli atau menjual suatu komoditas atau sekuritas di masa datang pada harga yang telah ditetapkan sekarang. Hanya tidak seperti forward, kontrak berjangka biasanya terstandard dan diperjualbelikan di suatu bursa resmi. Contohnya dalam kontrak berjangka komoditas tembaga, 1 unit tembaga akan diperdagangkan pada harga x dan akan diserahkan pada waktu penyerahan (delivery date), akhir bulan ketiga. Dari kontrak ini timbullah kewajiban dari kedua belah pihak yang bertransaksi yang pemenuhannya ditunda sebagai waktu penyerahan. Kewajiban dari pembeli adalah menyerahkan 1 unit tembaga, sementara kewajiban penjual adalah membayar x unit uang.
Mayoritas ulama sepakat bahwa transaksi dengan penyelesaian kewajiban dari kedua belah pihak pada suatu waktu di masa datang secara syariah terlarang karena adanya kandungan Gharar yang berlebihan.
Alasan dilakukannya pelarangan terhadap transaksi kontrak berjangka adalah : pertama, karena timbulnya penundaan kewajiban kedua belah pihak dalam kontrak berjangka, membuat transaksi ini menjadi penjualan sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai oleh penjual, sehingga secara syariah termasuk dalam transaksi terlarang (kecuali untuk beberapa kontrak seperti salam dan istishna yang mayoritas ulama menerimanya). Banyak bukti yang menunjukkan bahwa penjualan semacam ini telah mendorong prilaku spekulatif berlebihan yang mengarah ke perjudian. Kedua, sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang rugi) juga mendukung transaksi ini terjerembab menjadi maysir ketika harga dari barang dasar (underlying good) kontrak tersebut sangat berubah-ubah harganya dan sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif.
Transaksi kontarak berjangka di negara Indonesia merupakan transaksi yang legal. Transaksi ini mendapatkan legitimasi hukumnya dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, dan dengan dibukanya PT. Bursa Berjangka Jakarta (BBJ). Kegiatan transaksi Kontrak Berjangka hanya dapat diselenggarakan di Bursa Berjangka yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Berbeda dengan pandangan di atas yang mengharamkan kontrak berjangka, Y-suf M-sa malah berpendapat sebaliknya. "Kontrak berjangka kapas di Mesir adalah sah secara syar'i dan tidak bertentangan sedikitpun dengan dasar-dasar dan asas-asas umum fiqih serta tujuan syariah yang senantiasa berupaya mewujudkan maslahat individu dan masyarakat serta berupaya memberikan kemudahan dalam muamalat".
Dalam pandangan Ibnu Taimiah, transaksi jual beli yang mana objek transaksinya belum ada bisa berupa menjual burung di udara, binatang ternak yang lepas atau kabur (onta), budak yang kabur, dan lain-lain.
Sedangkan dalam pandangan sebagian ulama yang lain, transaksi terhadap barang yang belum ada hukumnya diperbolehkan, dengan catatan barang tersebut bisa diserah-terimakan pada waktu perjanjian yang telah dibuat. Begitu juga dengan gharar, jika bersifat ringan dan tidak bisa dipisahkan darinya maka hukumnya diperbolehkan. Seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya. Selain itu juga, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu atau tidak. Kesemuanya ini adalah gharar, akan tetapi bersifat ringan. Dan menurut ijma' para ulama, gharar yang bersifat ringan dan tidak bisa dipisahkan itu diperbolehkan.
Senada dengan pandangan di atas, Muhamad menyatakan dalam bukunya Etika Bisnis Islami bahwa "Tidak semua penjualan yang menyangkut sesuatu yang tidak pasti dilarang. Sebagai contoh, seseorang mungkin akan membeli rumah tanpa harus mengetahui apa yang ada di dalamnya. Apa yang dilarang adalah penjualan dimana terdapat unsure-unsur ketidakpastian yang jelas yang dapat menyebabkan perselisihan, konflik atau pengambilan uang orang lain secra tidak adil. Penjualan dimana unsure-unsur ketidakpastiannya sangat sedikit masih diperbolehkan."
3. Barang tersebut dapat ditentukan bentuk, sifat dan kualitasnya.
Dalam transaksi jual-beli, objek transaksi haruslah bisa diketahui bentuk, sifat dan kualitasnya. Jual-beli barang yang tidak jelas seperti pernyataan seseorang : "Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah", tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang : "saya jual mobilku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta", namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : "Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta", namun ukuran tanahnya tidak diketahui, semua bentuk transaksi seperti ini, dalam ajaran Islam tidak diperbolehkan.
Selain itu juga, transaksi jual-beli yang mana bentuk, sifat, dan kualitasnya bisa berupa transaksi yang familiar dikenal dengan "transaksi ijon". Transaksi ijon bisa berupa pembelian padi atau buah-buahan yang masih dalam keadaan kecil, yang belum bisa ditentukan jumlah dan kualitasnya. Disamping itu bisa juga berupa Jual-beli habal al habalah (janin dari hewan ternak). Transaksi jual beli seperti ini, seringkali terjadi pada masa dahulu, akan tetapi bukan berarti bahwa pada masa sekarang ini sudah ditinggalkan. Sejauh pengamatan penulis, transaksi seperti ini masih dilakukan di daerah-daerah terpencil ataupun di pedesaan.
D. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa transaksi jual beli gharar pada hakekatnya hukumnya haram, akan tetapi apabila hanya mengandung gharar yang ringan atau sedikit dan tidak bisa dipisahkan darinya, maka menurut jumhur ulama hukum transaksinya menjadi sah.
Tidak semua jual beli yang tidak ada hukunya haram (gharar). Menurut sebagian ulama' meskipun barang tidak ada pada waktu akad, namun dapat diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual-beli tersebut sah.
Gharar bisa dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, jual beli barang yang belum ada. Kedua, jual-beli barang yang tidak jelas. Ketiga, jual-beli barang yang tidak mampu diserahterimakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul. 2007. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta : RM Books.
As-Shiddieqy, Hasbi. 1999. Pengantar Fiqih Muamalah. Semarang : PT. Pustaka Rizki.
http//www.konsultasihukumonline.com. Diakses pada tanggal 29 Desember 2008.
Muhammad. 2004. Etika Bisnis ISlami . Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Muhammad, Pengantar Perbankan Islam, materi kuliah Keungan dan Perbankan Syariah PPS UIN Suka.
Syamhudi, Khalid. Jual Beli Gharar, dalam http://www.almanhaj.or.id. Diakses tanggal 26 Desember 2008.
Yasni, M. Gunawan. Kritik Syariah Terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-Bank Asing dalam Niriah.com. Diakses tanggal 26 Desember 2008.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda